Explorasi Keterlibatan Pria dalam Pengasuhan Anak

Kemendukbangga/BKKBN — Porsi tangggung jawab pengasuhan anak — sejak dahulu hingga kekinian — lebih banyak diberikan kepada perempuan (baca = ibu). Alasan yang kerap didengar sungguh sangat klise: ayah sudah berperan mencari nafkah sebagai tulang punggung keluarga. Lantas, bagaimana dengan ibu pekerja, yang juga mencari nafkah untuk keluarga?

Sejatinya, keterlibatan peran ayah dalam pengasuhan anak mempunyai dampak positif yang besar. Masyarakat sendiri masih belum banyak yang terpapar mengenai hal tersebut. Statistik menunjukkan, masih banyak anak di Indonesia yang tumbuh tanpa kehadiran ayah atau fatherless dalam hidup mereka.

Berdasarkan data UNICEF 2021, sekitar 20,9% anak di Indonesia tidak memiliki figur ayah, baik karena perceraian, kematian, atau pekerjaan ayah yang mengharuskan mereka tinggal jauh dari keluarga. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun yang sama menunjukkan, hanya 37,17% anak usia 0–5 tahun dibesarkan oleh kedua orang tua lengkap.

Fenomena fatherless sendiri membawa dampak serius terhadap tumbuh kembang anak dan kesejahteraan keluarga. Situasi ini harus menjadi perhatian bersama, mengingat pentingnya kehadiran ayah dalam mendukung terciptanya lingkungan keluarga yang seimbang, sehat dan harmonis.

Bahkan, berbagai penelitian menunjukkan, dengan keterlibatan aktif ayah dalam kehidupan anak, baik pada masa kanak-kanak maupun remaja, terbukti dapat memperbaiki kesehatan mental, hubungan sosial, dan prestasi akademis mereka.

Ayah yang terlibat secara positif dapat berperan sebagai panutan, pelindung, dan penyemangat dalam menghadapi berbagai tantangan anak di masa remaja.

Untuk itulah Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga / BKKBN meluncurkan program Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), guna mendorong penguatan peran ayah, terkhusus dalam pengasuhan agar tumbuh kembang anak maksimal untuk menuju Indonesia Emas 2045.

● Fatherless to be Fatherhood

Fenomena fatherless berpengaruh besar pada perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan psikologis anak. Konsekuensi dari kekurangan figur ayah dalam kehidupan anak sangat beragam, mulai dari masalah dalam membentuk identitas diri, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, hingga perasaan kurangnya perlindungan dan dukungan emosional.

Anak yang tumbuh tanpa ayah juga berisiko lebih tinggi terlibat perilaku negatif seperti kecanduan, kekerasan, dan masalah mental.

Sebenarnya pengklasifikasi-an tugas ayah dan ibu tidak disadari sudah diajarkan kepada anak sejak dini. Taruhlah frasa “Ayah sedang bekerja, mencari uang”, atau “Ayah pulang lembur karena banyaknya pekerjaan di kantor”. Seringkali itulah jawaban ibu saat anak menanyakan ayahnya di mana dan sedang apa.

Secara tidak langsung sudah terpatri dalam benak anak bahwa tugas ayah itu mencari nafkah. Sebaliknya, ibu bertugas mengurus keluarga. Terbukti, saat anak menanyakan ibu di mana, acap kali dijawab “Ibu sedang memasak”, “Ibu sedang menyapu halaman”. Atau sedang melakukan tugas-tugas pekerjaan di rumah dan lingkungan sekitar.

Pengklasifikasi-an ini lantas memperoleh legalisasi, pada saat anak mulai mencicipi bangku sekolah. Tanpa disadari, di sekolah anak diajarkan perbedaan antara tugas seorang pria dan perempuan.

Pemahaman pengklasifikasi-an ini akan terekam, dan kelak akan menjadi salah satu pembenar, bahwa tugas dari seorang pria (baca=ayah) adalah mencari nafkah tanpa embel-embel terlibat dalam pengasuhan anak.

Untuk itu, perubahan pemahaman akan pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak harus dilakukan terintegrasi dan masif. Tidak bisa seperti membalik telapak tangan, atau dengan cepat. Berubah menjadi sosok fatherhood membutuhkan pemahaman dan kelegowoan maskulinitas seorang pria.

● Pentingnya Kehadiran Emosional Ayah

Sudah seharusnya kita mulai menguatkan pentingnya kehadiran emosional ayah dalam kehidupan anak, serta mengajarkan pentingnya peran ayah dalam membentuk karakter anak-anak mereka.

Sejatinya, seorang pria mempunya sifat alamiah, yakni kasih sayang dan perhatian. Tindakannya melibatkan emosional. Pada dasarnya, rumah juga sebagai tempat bagi pria. Sehingga absennya pria dalam pengasuhan anak menjadi kurang tepat.

Pria harus memahami tentang pengasuhan dan perawatan anak, pekerjaan rumah tangga serta aktivitas-aktivitas lainnya. Hal ini kemudian memunculkan istilah fatherhood atau “kebapakan”, yakni bentuk maskulinitas yang melibatkan ayah untuk lebih bertanggung jawab pada hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan anak.

Fatherhood merupakan instrumen menuju suatu keintiman yang seringkali absen antara laki-laki (ayah) dan anak.

Maka, Gerakan Ayah Teladan Indonesia secara langsung memberikan pemahaman lebih mendalam mengenai peran ayah dalam mengasuh anak. Program GATI sendiri melingkupi adanya: (1) Layanan Konseling Melalui Siap Nikah dan Satyagatra; (2) Konsorsium Penggiat dan Komunitas Ayah Teladan, seperti Komunitas Ayah ASI; (3) Desa/Keluraham Ayah Teladan di Kampung Keluarga Berkualitas; dan (4) Sekolah bersama Ayah di PIK-R Jalur Pendidikan dan Sekolah Siaga Kependudukan (SSK).

● Merubah Doktrin

Perubahan konteks paradigm maskulinitas, khususnya dalam keluarga, membutuhkan peran serta seluruh pihak. Termasuk anggota keluarga, komunitas, dan masyarakat sekitar. Secara sederhana bersama-sama kita dapat memulai dengan merubah doktrin kepada anak, mengenai pembagian tugas ayah dan ibu dalam keluarga.

Ibu juga harus memberikan ruang kepercayaan, kesempatan, dan aktivitas kepada ayah, untuk bisa mendampingi aktivitas anak.

Keseluruhan program GATI dan kesungguhan tekad, diharapkan dapat mendorong secara masif perubahan pemahaman seorang pria mengenai pentingnya keterlibatan peran seorang pria (baca=ayah) dalam pengasuhan anak dan aktivitas keluarga.

Perubahan ini, mari kita mulai terlebih dahulu dari diri kita dan keluarga kita.**

Penulis: Rahmitasari Prastriyani
Editor: Humas/Media Center*
Foto: BKKBN Jawa Tengah
Tanggal Rilis : Rabu, 28 Mei 2025
Waktu: Pk. 20.30 WIB

BIRO HUBUNGAN MASYARAKAT DAN INFORMASI PUBLIK

Media Center Kemendukbangga/BKKBN
mediacenter@bkkbn.go.id
0812-3888-8840
Jl. Permata nomor 1
Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur

Instagram: kemendukbangga_bkkbn
Facebook: BKKBN
Twitter/X: @kemendukbangga
TikTok: kemendukbangga_bkkbn
Snack Video: kemendukbangga_bkkbn
YouTube: kemendukbangga_bkkbn
www.kemendukbangga.go.id

Tentang Kemendukbangga/BKKBN

Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) adalah lembaga yang mendapat tugas untuk mengendalikan jumlah penduduk melalui penyelenggaraan program kependudukan dan Keluarga Berencana, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia melalui pembangunanan keluarga berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga; Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 180 Tahun 2024 tentang Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga: Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 181 Tahun 2024 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Kemendukbangga/BKKBN ditunjuk sebagai Ketua Koordinator Percepatan Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

Berapa Jumlah Anak Ideal menurut Ibu-Ibu Jaman Now?

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, terus menghadapi tantangan dalam mengelola pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan. Salah satu indikator utama yang mencerminkan dinamika ini adalah Total Fertility Rate (TFR). Dengan TFR nasional sebesar 2,45, Indonesia masih berada di atas target 2,1 yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan penduduk seimbang.1 Di Provinsi Jawa Tengah, yang merupakan salah satu wilayah dengan populasi terpadat, TFR tercatat sebesar 2,27, sedikit lebih rendah dari rata-rata nasional namun tetap belum memenuhi target.

Menariknya, preferensi jumlah anak pada wanita usia subur (15-49 tahun) menjadi salah satu faktor penting yang berkontribusi terhadap angka fertilitas ini. Sebuah penelitian terbaru yang menggunakan data Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2022 oleh BKKBN mengungkapkan sejumlah faktor yang memengaruhi preferensi fertilitas di kalangan wanita usia subur di Jawa Tengah. Hasil analisis menunjukkan bahwa usia saat menikah pertama kali, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi dalam asuransi kesehatan memiliki hubungan signifikan dengan preferensi jumlah anak.2

Wanita yang menikah pada usia 21 tahun atau lebih cenderung memiliki keinginan lebih rendah untuk memiliki lebih dari dua anak, demikian pula, wanita yang bekerja menunjukkan preferensi serupa. Sebaliknya, wanita yang tergabung dalam jaminan kesehatan nasional kesehatan justru memiliki kecenderungan lebih besar untuk menginginkan lebih dari dua anak. Temuan ini menggambarkan kompleksitas dalam menentukan preferensi fertilitas di tengah berbagai aspek sosial, ekonomi, dan kesehatan.

Mengapa Preferensi Fertilitas Penting?

Preferensi fertilitas tidak hanya mencerminkan keinginan individu, tetapi juga dipengaruhi oleh norma sosial, ekonomi keluarga, dan akses terhadap layanan kesehatan. Di Indonesia, preferensi jumlah anak juga berkaitan erat dengan strategi pembangunan nasional, terutama dalam mencapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan kualitas hidup.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Beberapa langkah strategis dapat diambil untuk mengelola preferensi fertilitas wanita usia subur di Indonesia:

  1. Meningkatkan Pendidikan Perempuan karena pendidikan yang lebih tinggi cenderung menunda usia pernikahan dan mengurangi preferensi untuk memiliki banyak anak.
  • Mendorong Partisipasi Perempuan dalam Dunia Kerja karena pekerjaan memberikan peluang bagi perempuan untuk berkontribusi secara ekonomi dan memperluas wawasan mereka mengenai pengelolaan keluarga.
  • Memperkuat Program Kesehatan Reproduksi Remaja terutama edukasi tentang kesehatan reproduksi sejak dini dapat membantu perempuan membuat keputusan yang lebih terinformasi mengenai pernikahan dan fertilitas.
  • Menyelaraskan Kebijakan Kesehatan dan Keluarga Berencana yang mendukung akses layanan kesehatan dan program keluarga berencana. Karena kebijakan yang komprehensif dapat membantu perempuan merencanakan keluarga mereka dengan lebih baik.

Preferensi jumlah anak pada wanita usia subur di Indonesia merupakan refleksi dari berbagai dinamika sosial dan ekonomi yang kompleks. Dengan memahami faktor-faktor yang memengaruhi preferensi ini, pemerintah dan pemangku kebijakan dapat mengembangkan program yang lebih efektif untuk mencapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan kualitas hidup masyarakat. Investasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan perempuan akan menjadi kunci untuk mengarahkan preferensi fertilitas ke arah yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Sumber:

1.          Direktorat Analisis Dampak Kependudukan B. Laporan Kependudukan indonesia 2024. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta; 2024.

2.          Ardiningsih ES, Agushybana F, Shaluhiyah Z. Determinants of Fertility Preference among Women Aged 15-49 Years in Central Java Province (2022 Family Life Survey Analysis). J Biometrics Popul. 2024;13(1):38–50.

Digital Marketing: Peluang Emas bagi Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia

Dalam era digital yang terus berkembang, pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Indonesia dihadapkan pada tantangan dan peluang baru. Dengan memanfaatkan teknologi digital, UMK dapat meningkatkan efisiensi, memperluas pasar, dan menciptakan koneksi lebih dekat dengan konsumen. Berdasarkan analisis dari beberapa penelitian terbaru, digital marketing menjadi strategi kunci yang mampu mendorong kesuksesan UMK, khususnya dalam pasar yang kompetitif seperti Indonesia.

Transformasi Melalui Teknologi Digital

Penetrasi internet dan telepon seluler secara signifikan mendorong UMK untuk mengadopsi inovasi berbasis teknologi. Namun, adopsi ini masih terkendala oleh faktor seperti pendapatan usaha, kemampuan pemilik, dan hambatan teknis lainnya.1 Dengan teknologi seperti keuangan digital (digital finance) dan platform penjualan online, UMK dapat mengatasi tantangan ini, terutama selama periode kritis seperti pandemi COVID-19. Bisnis yang aktif beradaptasi dengan teknologi cenderung menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dan efisiensi operasional yang meningkat.

Mengintegrasikan Ekonomi Informal dan Digital

Banyak pelaku ekonomi informal yang mulai memanfaatkan platform digital untuk mendukung kegiatan mereka. Strategi seperti standarisasi layanan, reorganisasi komunitas, kolaborasi berbasis alat, dan penciptaan nilai bersama menjadi cara efektif untuk menggabungkan elemen tradisional dengan modernitas.1 Dengan pendekatan ini, platform digital membantu UMK di sektor informal untuk tetap relevan dan kompetitif di pasar.

Membangun Cinta Merek Lokal melalui Media Sosial

Generasi Z merupakan konsumen utama di era digital yang memiliki kecenderungan kuat untuk berbelanja melalui social commerce. Faktor seperti kualitas informasi, harapan terhadap pengalaman menyenangkan dan fungsional, serta norma sosial sangatlah memengaruhi niat belanja mereka.2 Oleh karena itu, UMK dapat memanfaatkan media sosial untuk membangun brand love dari kalangan generasi tersebut.3 Dengan meningkatkan kesadaran merek (brand awareness) dan citra merek (brand image), UMK dapat memperkuat hubungan emosional dengan konsumen muda.

Strategi Digital Marketing untuk UMK

Berdasarkan wawasan dari berbagai studi, beberapa strategi utama yang dapat diterapkan oleh UMK adalah:4

a. Memanfaatkan Media Sosial Secara Efektif

Pelaku UMK dapat memanfaatkan media sosial untuk menjangkau konsumen muda, mempromosikan produk, dan membangun hubungan emosional dengan pelanggan.

b. Menggunakan Teknologi Keuangan Digital

Digital finance mempermudah transaksi dan meningkatkan kepercayaan pelanggan terhadap UMK. Hal ini juga membantu UMK dalam mengelola keuangan dengan lebih efisien.

c. Beradaptasi dengan Platform Digital

Dengan menggunakan platform seperti e-commerce atau social commerce, UMK dapat memperluas pasar dan meningkatkan penjualan.

d. Mengutamakan Kualitas Informasi

Menyediakan informasi produk yang lengkap dan menarik sangat penting untuk membangun kepercayaan dan menarik minat konsumen, terutama di platform digital.

Digital marketing membuka peluang besar bagi UMK di Indonesia untuk berkembang dan bersaing di pasar lokal maupun global. Dengan memahami kebutuhan konsumen dan memanfaatkan teknologi secara optimal, UMK dapat menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan. Kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan pelaku usaha diperlukan untuk mendukung transformasi ini, sehingga UMK dapat menjadi pilar ekonomi yang kuat di era digital.

Sumber:

1.          Prasetyo EH. Digital Platforms ’ Strategies in Indonesia : Navigating between Technology and Informal Economy. Technol Soc. 2024;76(February 2023).

2.          Alya L, Yusuf A, Naufal A, Arief M, Faishal M, Wildan M, et al. Generation Z and Indonesian Social Commerce : Unraveling key drivers of their shopping decisions. J Open Innov Technol Mark Complex [Internet]. 2024;10(2):100256. Available from: https://doi.org/10.1016/j.joitmc.2024.100256

3.          Nurhadi M, Suryani T, Amar A. Cultivating Domestic Brand Love through Social Media Marketing Activities : Insights from Young Consumers in an Emerging Market. Asia Pacific Manag Rev [Internet]. 2024;(xxxx):100349. Available from: https://doi.org/10.1016/j.apmrv.2024.100349

4.          Trinugroho I, Pamungkas P, Wiwoho J. Adoption of Digital Technologies for Micro and Small Business. Financ Res Lett [Internet]. 2022;45(April 2021):102156. Available from: https://doi.org/10.1016/j.frl.2021.102156

Amankah MP-ASI Komersial untuk Anak?

Makanan pelengkap ASI (MP-ASI) merupakan tahap penting dalam perkembangan gizi bayi yang harus disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi MP-ASI komersial di Indonesia semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya produk makanan bayi yang dipasarkan secara luas. Meskipun keberadaan MP-ASI komersial memberi kemudahan bagi para orangtua, terutama bagi yang memiliki keterbatasan waktu, banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa produk-produk tersebut sering kali tidak sepenuhnya memenuhi standar gizi yang direkomendasikan. Berdasarkan empat jurnal penelitian terbaru, kita bisa melihat tantangan yang dihadapi serta peluang untuk memperbaiki kualitas MP-ASI komersial di Indonesia.
 
Ultraprocessed dan Penggunaan Aditif dalam MP-ASI Komersial
 
Salah satu masalah yang ditemukan dalam penelitian oleh Pries et al. (2024) mengenai produk makanan pendamping ASI di Asia Tenggara adalah banyaknya produk ultraprocessed yang mengandung aditif.1 Ultraprocessed merujuk pada makanan yang telah melalui sejumlah besar proses industri yang mengubah bahan-bahan mentah menjadi produk yang sangat berbeda dari bentuk aslinya. Proses ini sering kali melibatkan penggunaan bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, pemanis, pengental, dan perasa buatan yang tidak biasa ditemukan dalam bahan alami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari produk MP-ASI yang beredar di pasar adalah makanan ultraprocessed, yang sering kali mengandung bahan tambahan kosmetik untuk meningkatkan penampilan, rasa, dan tekstur produk. Aditif ini, seperti pengemulsi, pewarna, dan pengental, ditemukan dalam lebih dari 30% produk, dan sekitar sepertiga produk mengandung bahan yang tidak sesuai dengan pedoman internasional seperti Codex Alimentarius. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun MP-ASI komersial mudah diakses, konsumsi produk ini dapat membawa risiko terhadap kesehatan bayi, terutama dalam hal kecukupan nutrisi dan paparan terhadap bahan kimia tambahan.
 
Kontribusi MP-ASI Komersial terhadap Asupan Gizi Bayi
 
Produk MP-ASI komersial memang sudah digunakan secara luas dan hampir tidak terpisahkan dari asupan makanan anak di bawah usia 2 tahun. Namun demikian, kandungan nutrisi dalam produk tersebut perlu diperhatikan untuk memenuhi kecukupan gizi anak. Pada penelitian sebelumnya, anak yang mengonsumsi MP-ASI komersial mendapatkan sekitar 25% dari total dengan kontribusi signifikan terhadap asupan karbohidrat, serat, serta vitamin A, C, dan B6. Namun, meskipun MP-ASI komersial dapat menyediakan sejumlah besar gula tambahan, kontribusi terhadap zat gizi penting lainnya seperti zat besi dan kalsium sangat terbatas.2 Hal ini mencerminkan tantangan yang sama yang dihadapi Indonesia dalam memilih produk MP-ASI komersial yang tidak hanya bergizi tetapi juga aman dari bahan tambahan yang tidak diperlukan.
 
Kepatuhan terhadap Standar Gizi dan Label Produk
 
Sebuah studi mengungkapkan produk MP-ASI bayi dan balita komersial umumnya tidak sepenuhnya mematuhi standar yang telah ditetapkan. Hanya 28% dari produk yang memenuhi seluruh persyaratan komposisi gizi menurut model profil nutrisi dan promosi yang dikembangkan oleh WHO.3 Di Indonesia, meskipun sudah terdapat pedoman nasional tentang MP-ASI komersial, namun masih banyak produk yang belum sepenuhnya memenuhi standar gizi yang diharapkan, baik dalam hal komposisi nutrisi maupun informasi label yang kurang jelas dan informatif. Hal ini menunjukkan pentingnya peningkatan regulasi yang lebih ketat terhadap produk MP-ASI komersial.
 
Pengembangan Produk MP-ASI yang Lebih Sehat dan Terjangkau
 
Penelitian menunjukkan bahwa makanan pelengkap yang terbuat dari bahan alami seperti beras, kedelai, dan labu memiliki potensi besar untuk menjadi alternatif makanan pelengkap yang lebih sehat dan bergizi. Tepung yang dihasilkan dari bahan-bahan ini mengandung protein, karbohidrat, serat, dan vitamin yang sangat penting untuk perkembangan bayi, dengan sedikit atau tanpa aditif tambahan.4 Di Indonesia, mengembangkan dan memperkenalkan produk MP-ASI berbasis bahan lokal yang lebih alami, seperti tepung beras, kedelai, dan labu, bisa menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan pada produk ultraprocessed yang mengandung bahan kimia tambahan.
 
Meskipun MP-ASI komersial menawarkan kenyamanan, ada risiko kesehatan terkait dengan konsumsi makanan yang mengandung bahan tambahan berbahaya dan kurangnya kepatuhan terhadap standar gizi internasional. Namun, peluang untuk memperbaiki situasi ini sangat besar. Pemerintah dan industri makanan harus bekerja sama untuk memperkenalkan standar gizi yang lebih ketat dan memperkenalkan produk yang lebih sehat dan bergizi. Produk MP-ASI berbasis bahan lokal yang lebih alami dan bergizi dapat menjadi pilihan yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan bayi dan anak-anak Indonesia.
 
Sumber:
1.          Pries AM, Bassetti E, Badham J, Baker P, Blankenship J, Dunford EK, et al. Ultraprocessing and Presence of Additives in Commercially Produced Complementary Foods in Seven Southeast Asian Countries: a Cross-Sectional Study. Am J Clin Nutr [Internet]. 2024;120(2):310–9. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ajcnut.2024.04.003
2.          Haszard JJ, Heath ALM, Katiforis I, Fleming EA, Taylor RW. Contribution of Infant Food Pouches and Other Commercial Infant Foods to the Diets of Infants: A Cross-sectional Study. Am J Clin Nutr [Internet]. 2024 May;119(5):1238–47. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0002916524002764
3.          Scully M, Jinnette R, Le L, Martin J, Schmidtke A. Compliance of Australian Commercial Foods for Young Children (<36 months) with an International Nutrient and Promotion Profile Model. Aust N Z J Public Health [Internet]. 2024;48(3):100158. Available from: https://doi.org/10.1016/j.anzjph.2024.100158
4.          Ihedinachi OA, Udeh CC, Emojorho EE, Amonyeze AO, Nwaorgu SI, Aniemena CC. Evaluation of Nutritional Qualities of Complementary Food Produce from Malted Rice, Soybean and Pumpkin Pulp Flour. Food Chem Adv [Internet]. 2025;6(December 2024):100863. Available from: https://doi.org/10.1016/j.focha.2024.100863

Mengungkap Tantangan Kesehatan Mental pada Remaja di Indonesia

Masalah kesehatan mental pada remaja dan perilaku berkelanjutan menjadi dua isu penting yang semakin mendapat perhatian di Indonesia. Perlu adanya pembahasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kedua aspek tersebut serta intervensi yang dapat diterapkan untuk mengatasinya. Dalam artikel ini, kita akan mengupas bagaimana faktor psikososial, lingkungan, serta intervensi dapat memengaruhi perilaku remaja dalam konteks Indonesia.

Masalah Kesehatan Mental pada Remaja Indonesia: Prevalensi dan Faktor Risiko

Prevalensi masalah kesehatan mental, seperti gangguan psikologis dan depresi terus meningkat di kalangan remaja Indonesia. Hasil studi menunjukkan bahwa hampir sepertiga remaja bersekolah melaporkan mengalami gangguan psikologis, sementara prevalensi depresi mencapai 12,6%. Studi ini juga mengungkapkan bahwa faktor-faktor gender dan geografi berperan penting dalam variasi prevalensi tersebut.1 Remaja perempuan, misalnya, melaporkan tingkat gangguan psikologis dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Di sisi lain, remaja yang tidak bersekolah cenderung menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dalam masalah kesehatan mental.1 Intervensi yang tepat, seperti meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental dan mendukung pengembangan keterampilan sosial, sangat diperlukan untuk mengurangi dampak masalah kesehatan mental ini.

Kesehatan Mental dan Perilaku Berkelanjutan: Pengaruh Faktor Lingkungan dan Psikososial di Sekolah

Lingkungan sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk perilaku berkelanjutan pada remaja. Penelitian yang membahas psikologi lingkungan sekolah menemukan bahwa faktor lingkungan fisik, kebijakan, serta keterlibatan pemangku kepentingan dapat memengaruhi sikap dan perilaku siswa terkait keberlanjutan.2 Misalnya, siswa yang belajar di sekolah dengan kebijakan ramah lingkungan cenderung lebih memperhatikan isu-isu keberlanjutan. Selain itu, keterlibatan aktif orang tua dan komunitas juga dapat meningkatkan kesadaran siswa tentang pentingnya keberlanjutan. Hal ini menunjukkan perlunya menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung perubahan perilaku yang positif, baik dalam hal kesehatan mental maupun tindakan berkelanjutan.

Mengurangi Perilaku Self-Harm pada Remaja: Model Intervensi yang Efektif

Kesehatan mental remaja dapat mengakibatkan munculnya perilaku yang membahayakan bagi diri remaja tersebut. Masalah perilaku self-harm di kalangan remaja juga menjadi perhatian di Indonesia. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk menemukan model intervensi yang efektif dalam mengurangi perilaku tersebut. Beberapa pendekatan yang ditemukan termasuk Acceptance and Commitment Therapy (ACT-DEA), aplikasi mobile berisi dukungan teman sebaya, dan terapi penulisan ekspresif.3 Intervensi ini berfokus pada pengelolaan emosi, pengembangan keterampilan koping positif, dan pemberian dukungan sosial untuk mencegah perilaku berbahaya tersebut.

Mendorong Perubahan Perilaku Positif: Intervensi di Sekolah untuk Kesehatan Mental dan Keberlanjutan

Intervensi yang berfokus pada peningkatan kesadaran, perubahan sikap, dan penguatan dukungan sosial bagi remaja sangatlah penting untuk dilakukan. Dalam konteks kesehatan mental, penting untuk mengurangi stigma terhadap masalah psikologis, memperkuat dukungan dari keluarga dan teman, serta menyediakan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan mental. Sementara itu, untuk keberlanjutan, sekolah-sekolah harus lebih banyak mengintegrasikan pendidikan lingkungan dan kebijakan ramah lingkungan, serta menyediakan ruang bagi siswa untuk terlibat aktif dalam proyek-proyek berkelanjutan.2

Kesehatan mental yang buruk dan perilaku self-harm dapat merusak kualitas hidup remaja, sementara ketidakpedulian terhadap isu keberlanjutan dapat menghambat upaya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan intervensi yang lebih holistik dan terintegrasi, baik di tingkat sekolah, keluarga, maupun komunitas, yang tidak hanya mendukung kesejahteraan mental, tetapi juga mendorong perilaku yang lebih berkelanjutan. Dengan pendekatan yang tepat, kita dapat membantu remaja Indonesia tumbuh menjadi individu yang lebih sehat, bahagia, dan peduli terhadap lingkungan.

Sumber:

1.          Pham MD, Wulan NR, Sawyer SM, Agius PA, Fisher J, Tran T, et al. Mental Health Problems Among Indonesian Adolescents: Findings of a Cross-Sectional Study Utilising Validated Scales and Innovative Sampling Methods. J Adolesc Heal [Internet]. 2024;75(6):929–38. Available from: https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2024.07.016

2.          Rahmania T. Exploring School Environmental Psychology in Children and Adolescents: The Influence of Environmental and Psychosocial Factors on Sustainable Behavior in Indonesia. Heliyon [Internet]. 2024;10(18):e37881. Available from: https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e37881

3.          Kurniawan K, Pratama A, Amalia A, Nida Robbani A, Lathifah A, Khoirunnisa K, et al. Exploring Effective Interventions to Reduce Self-Harm Behavior in Adolescents: A Scoping Review. Int J Africa Nurs Sci [Internet]. 2024;20(January):100762. Available from: https://doi.org/10.1016/j.ijans.2024.100762

Kematangan Emosional: Kunci Sukses Menikah yang Sering Terlupakan

Pernikahan adalah momen besar dalam hidup yang memerlukan kesiapan dari berbagai aspek, termasuk emosional, fisik, dan mental. Banyak orang yang mungkin merasa siap secara usia dan material, namun ternyata mengalami banyak tantangan dan permasalahan setelah menikah karena belum memiliki kematangan emosional. Beberapa penelitian menarik yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bagaimana kematangan emosional berhubungan erat dengan kesiapan menikah, serta perbedaan gender yang memengaruhi hal ini.

Kematangan Emosional: Kunci untuk Kesiapan Menikah

Penelitian yang dilakukan oleh Winchary Grace Meilani Purba dan tim di Indonesia menunjukkan bahwa wanita yang memiliki kematangan emosional yang tinggi cenderung lebih siap untuk menikah.1 Kematangan emosional ini meliputi kemampuan untuk mengelola perasaan, menjaga keharmonisan hubungan, dan menghadapi masalah dalam kehidupan berkeluarga. Stabilitas emosional sangat penting untuk menjalani kehidupan pernikahan yang langgeng dan bahagia. Kematangan emosional bukan hanya tentang usia, tetapi sejauh mana individu siap menghadapi tanggung jawab yang datang dengan pernikahan.2

Perbedaan Gender dalam Kematangan Emosional

Kematangan emosional perlu menjadi perhatian bagi calon suami maupun calon istri karena terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal kematangan emosional, penyesuaian setelah menikah, dan kesejahteraan psikologis. Wanita cenderung lebih matang secara emosional, yang membantu mereka beradaptasi lebih baik dalam pernikahan.3 Hal ini bisa jadi terkait dengan peran sosial yang dihadapi wanita dalam banyak budaya, yang sering kali menuntut mereka untuk mengelola hubungan keluarga dengan lebih baik. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa kematangan emosional bukan hanya soal gender. Kesiapan emosional juga dipengaruhi oleh pengalaman hidup, pendidikan, dan dukungan sosial yang diterima seseorang.

Kematangan Emosional dalam Perspektif Hukum Negara

Beberapa negara ASEAN, seperti Indonesia dan Malaysia, mengatur usia minimal untuk menikah.4 Di Indonesia sendiri, usia ideal menikah adalah 21 tahun untuk Wanita dan 25 tahun untuk laki-laki. Penetapan usia ideal menikah ini mempertimbangkan kematangan dan kesiapan calon pengantin baik secara fisik, material, maupun emosional. Diharapkan dengan menikah pada usia ideal akan mendukung terwujudnya keluarga yang berkualitas yang mampu melahirkan generasi sehat dan memberikan pengasuhan yang optimal bagi anak-anaknya.

Kematangan emosional adalah hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata ketika membicarakan kesiapan pernikahan. Untuk menciptakan pernikahan yang harmonis, penting untuk memperhatikan pengembangan kematangan emosional, baik dari perspektif hukum, psikologis, maupun budaya. Dengan memahami pentingnya hal ini, kita dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik menuju kehidupan pernikahan yang sehat dan bahagia. Program pendidikan yang fokus pada pengembangan kematangan emosional bisa sangat membantu, baik untuk individu maupun masyarakat. Mengajarkan keterampilan emosional seperti mengelola stres, komunikasi yang efektif, dan menjaga keseimbangan hidup, dapat membantu individu mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk pernikahan.

Sumber:

1.          Grace W, Purba M, Yuliastuti R, Kusumiati E. Emotional Maturity as a Predictor of Marriage Readiness in Early Adult Women from Batak Ethnic Groups. J Bimbing dan Konseling Terap [Internet]. 2024;08(02):158–71. Available from: http://ojs.unpatti.ac.id/index.php/bkt

2.          Novitasari AF, Luth T, Djumikasih D, Chanifah N. The Importance of Maturity in Marriage from an Islamic Legal Perspective. J Legal Stud. 2024;33(47):99–108.

3.          Gobind, Khatri S, Manju. Gender Differences in Emotional Maturity, Marital Adjustment and Psychological Well-Being. Int J Indian Psychȯlogy. 2022;10(3).

4.          Novitasari AF, Luth T, Djumikasih, Chanifah N. A Comparative Analysis of the Interpretation of Maturity Under the Law of Marriage across ASEAN Countries. 2021;1547(2020).

Antara Lansia dan Media Sosial

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tidak hanya generasi muda, kelompok lansia di Indonesia kini turut merasakan dampak dan manfaat dari kehadiran media sosial. Fenomena ini cukup menarik perhatian karena membuka peluang baru untuk memahami bagaimana lansia memanfaatkan teknologi digital dalam mendukung kualitas hidup mereka.

Media Sosial sebagai Sarana Interaksi Sosial

Penelitian menunjukkan bahwa media sosial seperti WhatsApp dan Facebook menjadi alat penting bagi lansia untuk tetap terhubung dengan keluarga, teman, dan komunitas. Media sosial tidak hanya membantu mereka berbagi informasi, tetapi juga menjadi sarana hiburan dan tempat berbagi pengalaman hidup. Lansia menggunakan grup WhatsApp keluarga atau komunitas keagamaan untuk berbagi kabar, sementara Facebook memungkinkan mereka mengikuti perkembangan dunia luar, termasuk peristiwa lokal dan internasional.1 Hal ini mengurangi perasaan kesepian dan meningkatkan rasa keterhubungan dengan dunia luar.

Meningkatkan Literasi Digital bagi Lansia

Salah satu hambatan utama bagi lansia dalam menggunakan media sosial adalah kurangnya literasi digital. Banyak dari mereka yang tidak memiliki dasar pengetahuan tentang teknologi karena tidak terbiasa dengan komputer atau perangkat digital di masa muda. Program peningkatan literasi yang melibatkan pelatihan langsung dan kampanye kesadaran literasi digital telah terbukti membantu lansia lebih percaya diri menggunakan media sosial.2 Dengan menciptakan lingkungan belajar yang suportif, lansia mampu mengatasi kendala teknis dan menikmati manfaat media sosial secara lebih efektif.

Media Sosial dan Kesehatan Mental Lansia

Pandemi COVID-19 menjadi salah satu momen penting yang memperkuat relevansi media sosial bagi lansia. Isolasi sosial akibat pembatasan interaksi fisik membuat lansia rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial berperan signifikan dalam membantu lansia mengatasi perasaan isolasi dengan menyediakan platform untuk berkomunikasi dan berbagi cerita.3 Selain itu, media sosial memungkinkan mereka untuk mencari informasi yang relevan dan mendukung, termasuk tips kesehatan dan hiburan ringan.

Peran Media Sosial dalam Kualitas Hidup Lansia

Dalam konteks yang lebih luas, media sosial juga berkontribusi terhadap komponen utama kualitas hidup lansia, seperti hubungan sosial, partisipasi komunitas, dan kebahagiaan. Studi menunjukkan bahwa lansia yang aktif di media sosial cenderung memiliki pandangan hidup yang lebih positif dan merasa lebih dihargai oleh lingkungan sekitarnya.4 Dengan akses yang lebih luas ke informasi, lansia juga dapat meningkatkan wawasan mereka tentang berbagai topik, mulai dari kesehatan hingga kegiatan produktif, seperti berjualan secara daring.

Manfaat dan Harapan

Meskipun manfaat media sosial bagi lansia sangat jelas, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah risiko kecanduan media sosial, yang dapat mengalihkan perhatian mereka dari kegiatan fisik dan interaksi langsung. Selain itu, penyebaran informasi palsu di media sosial juga menjadi ancaman bagi lansia yang kurang kritis dalam menyaring informasi.5 Oleh karena itu, pendidikan literasi digital yang komprehensif perlu terus didorong untuk membantu lansia menggunakan media sosial secara bijaksana.

Penggunaan media sosial di kalangan lansia di Indonesia memberikan banyak manfaat, mulai dari peningkatan kualitas hidup hingga dukungan kesehatan mental. Dengan pendekatan yang tepat, lansia dapat memanfaatkan media sosial sebagai alat yang mendukung mereka tetap aktif, terhubung, dan bahagia. Namun, diperlukan upaya berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk keluarga, komunitas, dan pemerintah, untuk memastikan bahwa media sosial dapat digunakan secara optimal oleh lansia tanpa menimbulkan risiko yang tidak diinginkan.

Sumber:

1. Tangkudung JPM, Tulung LE. The Role of Social Media for the Elderly in Lembean Village, Kauditan District, North Minahasa Regency. J Manag Adm Provis [Internet]. 2024 Oct 21;4(3):248–54. Available from: http://psppjournals.org/index.php/jmap/article/view/400

2. Sari AR, Rosidi MI, Djollong AF. Digital Literacy among The Elderly: Literature Review and Implementation in Community Service. J Community Dedication. 2024;4(3):455–65.

3. Mashud M, Saud M, Ida R, Ashfaq A. Social Media as A Supporting Mechanism during COVID-19 in Indonesia: A Quantitative Study on Isolation among Elders. Vacunas. 2024;25(3):347–54.

4. Haris N, Majid RA, Abdullah N, Osman R. The Role of Social Media in Supporting Elderly Quality Daily Life. In: International Conference on User Science and Engineering. 2014.

5. Teng CE, Joo TM. Analyzing the Usage of Social Media: A Study on Elderly in Malaysia. Int J Humanit Soc Sci. 2017;11(3).

Mengenal Parental Burnout di Indonesia: Tantangan Baru dalam Pengasuhan Anak

Di tengah dinamika kehidupan modern, peran orang tua semakin kompleks. Selain bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, orang tua juga harus menghadapi tuntutan pekerjaan, sosial, dan ekonomi. Fenomena yang dikenal dengan parental burnout atau kelelahan orang tua kini menjadi perhatian utama di banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun pembahasan tentang kelelahan orang tua ini semakin berkembang, pertanyaan mengenai bagaimana hal ini mempengaruhi pengasuhan dan kekerasan terhadap anak merupakan topik yang penting untuk dibahas.

Apa itu Parental Burnout?

Parental burnout adalah kondisi di mana orang tua merasa kelelahan emosional, fisik, dan mental akibat tekanan dalam menjalankan tugas pengasuhan. Parental burnout (PB) biasanya muncul dengan empat gejala utama: kelelahan, menjauh secara emosional dari anak-anak, merasa jenuh dengan peran sebagai orang tua, dan merasa berbeda dengan dirinya yang dulu sebelum menjadi orang tua.1 Kondisi ini tidak hanya membuat orang tua merasa cemas atau tertekan, tetapi juga dapat menyebabkan mereka menjadi lebih terisolasi, merasa tidak mampu, dan bahkan menunjukkan perilaku yang berbahaya, seperti kekerasan terhadap anak. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan ini dapat memengaruhi interaksi orang tua dengan anak, memperburuk hubungan keluarga, dan menambah risiko bagi kesejahteraan anak.

Tahapan Parental Burnout dan Kekerasan Terhadap Anak

Parental burnout umumnya dimulai dengan kelelahan yang terus-menerus. Kelelahan ini kemudian memicu munculnya gejala-gejala lainnya, seperti penjauhan emosional (emotional distancing) dan perasaan jenuh terhadap pengasuhan. Yang lebih mengkhawatirkan, gejala-gejala ini memiliki kaitan langsung dengan peningkatan perilaku kekerasan terhadap anak. Kelelahan orang tua tampaknya menjadi pemicu utama yang mendorong gejala-gejala tersebut, yang pada gilirannya memperburuk interaksi antara orang tua dan anak.2 Bagi orang tua yang sudah berada pada tahap kelelahan emosional, pengasuhan menjadi semakin berat, dan mereka cenderung menarik diri secara emosional dari anak-anak mereka. Hal ini dapat berujung pada perasaan frustrasi yang lebih besar, yang meningkatkan risiko perilaku kekerasan. Oleh karena itu, mengenali tanda-tanda awal parental burnout sangat penting, agar intervensi yang tepat dapat diberikan sebelum kondisi ini berkembang menjadi lebih parah.1

Parental Burnout di Indonesia: Faktor Budaya dan Sosial

Di Indonesia, tantangan yang dihadapi oleh orang tua dalam mengasuh anak sangat dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya. Tekanan untuk memenuhi harapan sosial mengenai peran orang tua, ditambah dengan keterbatasan dukungan sosial dan ekonomi, semakin memperburuk kondisi parental burnout. Budaya yang mengutamakan peran ibu sebagai pengasuh utama, ditambah dengan ketergantungan pada keluarga besar dalam mendukung pengasuhan, menciptakan beban yang sangat besar bagi orang tua yang mungkin tidak mendapatkan dukungan yang memadai.

Selain itu, masalah ketimpangan gender dalam pengasuhan masih menjadi isu penting di Indonesia. Banyak ibu yang merasa terbebani dengan tugas pengasuhan yang sangat menuntut, sementara peran ayah dalam mengasuh anak terkadang masih kurang mendapat perhatian. Semua faktor ini membuat kelelahan orang tua semakin sulit dihindari, dan dampaknya bisa lebih berbahaya bagi kesehatan mental orang tua dan anak-anak mereka.

Menghadapi Tantangan Parental Burnout di Indonesia

Penting bagi masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh parental burnout. Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kesadaran akan gejala-gejala kelelahan orang tua, seperti kelelahan emosional, perasaan jenuh, dan keterisolasian. Program-program pendidikan untuk orang tua, baik yang berbasis online maupun offline, dapat membantu orang tua mengenali tanda-tanda awal dan mencari dukungan yang dibutuhkan. Dukungan dari pasangan dan keluarga besar juga memainkan peran penting dalam mencegah parental burnout. Membagi tugas pengasuhan secara lebih adil dan melibatkan ayah lebih aktif dalam pengasuhan dapat mengurangi tekanan yang dirasakan oleh ibu.3 Selain itu, penyediaan layanan konseling atau dukungan psikologis bagi orang tua yang merasa kewalahan juga sangat diperlukan.

Peran Kesehatan Mental dalam Pengasuhan

Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, kini saatnya bagi Indonesia untuk lebih serius mengatasi masalah parental burnout. Penelitian menunjukkan bahwa pengurangan kelelahan emosional orang tua dapat mencegah gejala-gejala parental burnout lainnya yang berpotensi berbahaya. Dengan memberikan dukungan yang lebih baik kepada orang tua dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung pengasuhan, kita dapat membantu orang tua untuk lebih sejahtera dan menjaga kesejahteraan anak-anak mereka. Fenomena parental burnout adalah tantangan baru yang membutuhkan perhatian lebih. Dengan memahami akar masalah ini dan menyediakan dukungan yang tepat, kita dapat menciptakan generasi yang lebih sehat, baik bagi orang tua maupun anak-anak di Indonesia.

Sumber:

1. Schittek A, Roskam I, Mikolajczak M. Parental Burnout Stages and Their Link to Parental Violence: A Longitudinal Study. J Appl Dev Psychol [Internet]. 2024 Nov;95:101717. Available from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0193397324000868

2. Abidin FA, Fitriana E, Anindhita V, Agustiani H, Fadilah SH, Purba FD, et al. Parental burnout assessment: Validation in Indonesian parents. Ment Heal Prev [Internet]. 2024 Dec;36(May):200372. Available from: https://doi.org/10.1016/j.mhp.2024.200372

3. Puspitawati H, Riany YE. Modul Akademi Keluarga Hebat Indonesia Kelas 1000 Hari Pertama Kehidupan. Jakarta: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia IPB; 2018.

Mengurangi Ketimpangan Sosial Ekonomi dalam Penggunaan Kontrasepsi Modern: Kemajuan dan Tantangan Menuju FP2030

Selama tiga dekade terakhir, dunia telah menyaksikan kemajuan signifikan dalam upaya mengurangi ketimpangan sosial ekonomi dalam perencanaan keluarga. Namun, perjalanan menuju keadilan dalam akses kontrasepsi modern masih jauh dari selesai. Studi terbaru yang menganalisis 48 negara dalam inisiatif Family Planning 2030 (FP2030) memberikan gambaran yang menggembirakan sekaligus tantangan yang perlu segera diatasi. Peningkatan Akses dan Penggunaan Kontrasepsi Modern
Antara tahun 1990 hingga 2020, prevalensi kontrasepsi modern (modern contraceptive prevalence rate/mCPR) meningkat secara konsisten. Rata-rata, penggunaan kontrasepsi modern meningkat sebesar 2,1% per tahun, dengan laju peningkatan yang lebih besar di antara kelompok perempuan termiskin (3,1%) dibandingkan perempuan terkaya (1,3%).1 Hal ini menunjukkan adanya upaya nyata untuk menjangkau kelompok yang paling membutuhkan. Selain itu, pemenuhan kebutuhan perencanaan keluarga dengan metode kontrasepsi modern (modern demand for family planning satisfied/mDFPS) juga menunjukkan pola serupa meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat. Data ini menjadi bukti bahwa pendekatan inklusif dalam perencanaan keluarga dapat memberikan dampak yang nyata bagi kelompok yang terpinggirkan.

Faktor-Faktor yang Mendorong Perubahan
Kemajuan ini tidak terjadi secara kebetulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kontrasepsi tradisional di Indonesia terutama di Provinsi Jawa Tengah adalah tingkat pendidikan ibu dan tempat tinggal.2 Dengan demikian, intervensi seperti dukungan alat dan obat kontrasepsi, edukasi masyarakat, dan program kesehatan reproduksi berbasis komunitas telah membantu mengatasi berbagai hambatan sosial ekonomi dalam perencanaan keluarga menggunakan metode kontrasepsi modern. Di banyak negara, dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah dan kemitraan dengan organisasi internasional memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung penggunaan kontrasepsi modern.  

Tantangan yang Masih Ada
Meskipun tingkat penggunaan kontrasepsi modern di beberapa negara sudah tinggi, masih terdapat permasalahan bagi kelompok menengah ke bawah. Mereka sering menghadapi hambatan budaya, geografis, dan struktural yang menyebabkan kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi. Selain itu, ketimpangan yang tersisa menunjukkan perlunya strategi yang lebih terarah. Metode tersebut meliputi pemetaan wilayah prioritas, edukasi berbasis budaya, dan penguatan infrastruktur kesehatan agar menjangkau wilayah kurang terlayani, mengatasi hambatan budaya dan geografis, serta memastikan kelompok rentan mendapatkan akses yang setara terhadap layanan kontrasepsi modern.3  

Menuju Masa Depan yang Inklusif
Untuk mencapai tujuan FP2030, penting memastikan semua perempuan, terutama yang miskin dan terpinggirkan, mendapatkan akses yang adil. Kemajuan selama 30 tahun terakhir memberi harapan bahwa perbedaan sosial ekonomi dalam perencanaan keluarga dapat terus berkurang. Namun, untuk mencapai visi FP2030, dunia perlu bekerja lebih keras untuk menciptakan lingkungan di mana semua perempuan, tanpa memandang latar belakang sosial ekonominya, memiliki akses penuh ke layanan kontrasepsi modern. Dengan komitmen yang kuat, masa depan yang lebih adil dan inklusif dapat terwujud.  

Sumber:
1. Cardona C, Rusatira JC, Salmeron C, Martinez-Baack M, Rimon JG, Anglewicz P, et al. Progress in reducing socioeconomic inequalities in the use of modern contraceptives in 48 focus countries as part of the FP2030 initiative between 1990 and 2020: a population_based analysis. Lancet Glob Heal. 2025;13:38–49.

2. Wijayanti UT. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Metode Kontrasepsi Tradisional. J Promosi Kesehat Indones [Internet]. 2021 Jan 5;16(1):14–22. Available from: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jpki/article/view/33251

3. Direktorat Analisis Dampak Kependudukan B. Laporan Kependudukan indonesia 2024. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jakarta; 2024.  

Pentingnya Pemahaman dan Perawatan Diri

Kesehatan reproduksi adalah kondisi fisik, mental, dan sosial yang terkait dengan sistem reproduksi pada setiap tahap kehidupan seseorang. Lebih dari sekadar bebas dari penyakit, kesehatan reproduksi juga mencakup kemampuan untuk merencanakan keluarga, menikmati hubungan seksual yang sehat, serta menjalani kehamilan dan persalinan yang aman. Sayangnya, topik ini sering dianggap tabu di beberapa kalangan, sehingga kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi masih minim. Artikel ini membahas aspek-aspek utama kesehatan reproduksi, tantangan yang dihadapi, dan langkah-langkah perawatan yang bisa dilakukan.

Read More